Mencintai Allah

Senin, 15 November 2010
Diasuh oleh : Ustadzah Bintu Agil Al-Khirid

Bagaimana hubungan antara mencintai karena Allah, lalu dengan itu seseorang mencintai saudaranya?. Apakah sama ia mencintai saudaranya yang dengan sebab itu ia dapat mencintai Allah?. Manakah yang lebih afdhol (lebih utama)?.

Mencintai Allah itu ada dua macam:
1. Mencintai Allah secara wahbiyyah
Artinya cintanya kepada Allah merupakan pemberian/karunia Allah secara langsung kepadanya. Hal ini merupakan kehendak dan kekuasaanNya.
2. Mencintai Allah secara kasbiyyah
Artinya dengan melalui usaha-usaha sedemikian rupa, sehingga Allah pun mencintainya.

Hal ini dapat dilakukan secara bertahap:
- I’tiraf (pengakuan)
Bahwa ia butuh kepadaNya, lemah tanpa kekuatan dariNya, karena ia adalah hambaNya.
- Taqarrub (mendekatkan diri)
Sesudah sadar dan mengakui dirinya lemah (i’tiraf), maka ia berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan, baik yang wajib maupun yang sunnah, dan meninggalkan segala bentuk dosa.
- Ladzdzat/dzauq (merasa nikmat)
Dengan taqarrub-nya tersebut, ia merasakan kenikmatan ber-munajah dan merasakan manisnya taat, serta membenci kejahatan dan dosa.
- Mahabbatullah (mencintai Allah)
Ia terus-menerus melakukan ketaatan sehingga ia makin mencintaiNya, dan akhirnya dengan karunia Allah, Allah pun mencintainya.

Mencintai karena Allah ini telah diperintahkan olehNya dalam suatu firman:

“Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa”

yaitu orang-orang yang saling mencintai karena Allah, agar dapat saling menguatkan dalam kebaikan dan ketakwaan. Orang-orang inilah yang akan dibangunkan mimbar dari cahaya untuk mereka, sehingga mereka disangka sebagai para Nabi, sebab para Nabi pun juga diberi mimbar dari cahaya.

Sedangkan mencintai sesama saudara itu ada dua macam:

1. Mencintai saudara semuslim
Maka hal ini wajib untuk setiap muslim, sebagaimana sabda beliau SAW,

“Tidak beriman seseorang diantara kalian, kecuali ia mencintai buat saudaranya apa-apa yang ia sukai buat dirinya.”

2. Mencintai ukhuwah fillah
Mencintai saudaranya yang membantunya dalam keataan dan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah), sehingga terjalin saling mencintai karena Allah. Maka jenis yang kedua inilah yang lebih dicintai dari yang pertama, berdasarkan kelebihan iman dan takwanya.

Mencintai karena Allah adalah yang paling utama…

[Disarikan dari Nashoih Diniyyah, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad]

(http://bisyarah.wordpress.com/2010/11/05/mencintai-karena-allah/)

Kisah Pengemis Yahudi Di Sudut Pasar Madinah

Kamis, 11 November 2010
Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.

Namun, setiap pagi Rasulullah Muhammad SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari, sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain adalah isteri Rasulullah SAW. Beliau bertanya kepada anaknya itu, “Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?”

Aisyah RA menjawab, “Wahai Ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum Ayah lakukan kecuali satu saja.”
“Apakah Itu?”, tanya Abubakar RA. “Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada disana”, kata Aisyah RA.

Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, “Siapa kamu?!”
Abubakar RA menjawab, “Aku orang yang biasa (mendatangi engkau).”
“Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku”, bantah si pengemis buta itu. “Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku”, pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW”.

Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata, “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, tapi ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia….”

Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim.